“Ketuk Pintu TB” Jangan Sampai Tidak Dibuka

Sepenggal Catatan Memperingati Hari TB  Sedunia 2018

Gerakan “Ketuk Pintu” dalam menemukan kasus atau pasien TB dinilai cukup efektif. Hal itu diakui juga oleh Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P), Dinkes Provinsi NTT. Dalam dua minggu kunjungan saja, kader kesehatan berhasil menemukan 200 penderita TBC baru di NTT pada bulan Maret 2017 lalu (Timex, edisi 19 Maret 2018, hal.10).

Ketuk pintu merupakan gerakan bersama antara tenaga dan kader kesehatan di wilayah kerja masing-masing, di mana mereka melakukan kunjungan rumah untuk mendata, memeriksa dan memfasilitasi pengobatan yang intensif. Petugas mendatangi rumah warga, mengetuk pintu rumah sekaligus “pintu hati” mereka. Pendekatan yang baik memungkinkan warga membuka pintu dan menyilakan petugas kesehatan masuk untuk menyampaikan tujuan kunjungan. Bila kedua belah pihak sama-sama memahami manfaatnya, tentunya akan memudahkan proses selanjutnya, yaitu mengkaji semua anggota keuarga yang dicurigai menderita TB, melakukan pemeriksaan untuk memastikan diagnosa, dan memfasilitasi pengobatan bila ditemukan hasil pemeriksaan TB positif.

Munculnya program inovasi ini tentunya beralasan. Berkat jasa Robert Koch, penyakit TB ini sudah diketahui penyebabnya sejak 24 Maret 1982 silam,  yaitu Mycobacterium tuberculosis. Selanjutnya, ditemukan pula obat-obatan yang bisa mematikan kuman tersebut. Program pemberantas TB pun menjadi perhatian seluruh dunia. Di Indonesia, pengobatan bisa diakses secara gratis di setiap puskesmas maupun fasilitas kesehatan yang lainnya. Tapi anehnya, kenapa penyakit ini tidak bisa hilang? Tentunya ada yang salah dalam pemberantasannya, sehingga munculah inovasi baru, pertugas dan kader kesehatan dari pintu ke pintu mengetok untuk menemukan dan menyelesaikan masalah tersebut.

Sebagai masyarakat, kita tentunya mengapresiasi inovasi yang dilakukan oleh kementerian kesehatan itu. Petugas kesehatan tidak hanya menunggu di fasilitas kesehatan, tapi aktif “menjemput bola” di pemukiman warga. Bahkan organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah memberi apresiasi kepada pemerintah Indonesia saat kegiatan End TB Summit dan SEARO High Level Leadership Meeting on Ending TB yang diselenggarakan di New Delhi, 13-14 Maret 2018 lalu. Indonesia diakui telah mengimplementasikan dengan benar New Delhi Call for Action dan berharap Indonesia akan berhasil dalam upaya mengakhiri TBC pada tahun 2030 (Kemenkes RI, 2018).

Selain itu, petugas dan kader kesehatan mesti dicitrakan kembali sebagai pelayan yang baik, sehingga masyarakat merasa nyaman saat berinteraksi. Kadangkala masyarakat enggan ke fasilitas kesehatan hanya gara-gara punya pengalaman tidak mengenakkan saat berinteraksi dengan petugas dan kader kesehatan. Akibatnya mereka tidak rutin mengontrol dan pengobatannya terputus. Hal ini tentunya sangat berbahaya karena kuman TB akan semakin kebal terhadap obat-obat yang ada. Itulah masalah lanjutan akibat berobat tidak teratur yang kita kenal dengan sebut dengan TB MDR (Tuberculosis Multi-drug Resistant). Bila sudah seperti itu, pengobatan tentunya semakin rumit.

Gerakan inovasi ketuk pintu yang merupakan implementasi program TOSS TB (Temukan, Obat Sampai Sembuh Tuberkulosis) yang merupakan kegiatan penemuan kasus secara aktif dan masif sekaligus mendorong pasien TBC untuk memeriksakan diri dan menjalani pengobatan sampai tuntas.

Gerakan tersebut bertujuan agar penderita TB berobat dengan benar dan teratur, serta mencegah terjadi kuman TB kebal terhadap obat (TB MDR). Karena bila itu terjadi, biaya pengobatannya semakin besar dan kemungkin untuk sembuh semakin kecil. Gejala lanjutan yang dialami oleh penderita juga biasanya makin buruk dan mengancam nyawa.

Kasus TB Saat Ini

Kondisi TB saat ini tentunya masih sangat mengkhawatirkan. Bayangkan saja, penyakit infeksi ini termasuk salah satu penyebab kematian terbanyak didunia. Sebagai gambaran, tahun 2016 WHO melaporkan ada 10,4 juta jiwa yang menderita TB dan 1,7 juta jiwa diantaranya telah meninggal dunia. Masih dari sumber yang sama, Indonesia saat itu menempati rangking kedua dalam kategori jumlah terbanyak penderita TB. Bila penyakit ini tidak diberantas dengan serius, bisa-bisa banyak dari generasi kita yang hilang percuma.

Karena itu, kesempatan merayakan Hari TB Sedunia tanggal 24 Maret 2018 lalu kiranya menyadarkan kita akan pentingnya mewaspadai ancaman penyakit TB. Telah banyak inovasi yang diciptakan untuk memberantas TB. Namun, belum banyak orang yang mau dan mampu melaksanakannya.

Hari TB Sedunia tahun ini mengusung tema, “Wanted: Leaders for a TB-free world.” Bila kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia, tema itu kurang lebih berarti, “Dicari: Pemimipin-pemimpin untuk mengakhiri TB di dunia.” Tema ini bertujuan untuk membangun komitmen akhiri TB, tidak hanya pada level kepala negara dan manteri kesehatan, tapi pada semua level dari gubernur, bupati/walikota, anggota parlemen dan pemimpin komunitas, hingga orang penderita TB, masyarakat, petugas kesehatan, dokter atau perawat, yayasan dan lembaga lainnya (WHO, 2018). Keterlibatan semua pemimpin dari semua level ini memungkinkan pelaksana rencana atau program inovasi bisa terlaksana hingga ke lapisan masyarakat paling bawah, khususnya yang menderita atau berisiko tertular TB.

Seperti yang dilansir dalam website resmi Perdakhi, Indonesia mengambil Tema Peringatan Hari TB Sedunia tahun 2018 yaitu Peduli TBC, Indonesia Sehat dengan aksi Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSS TB). Melalui tema dan aksi ini diharapkan seluruh masyarakat lintas program dan lintas sektor mendukung program Pengendalian TB dengan menempatkannya sebagai isu utama di semua sektor.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pemerintah dalam hal ini Kemenkes RI sebagai penanggung jawab kesehatan masyarakat di Indonesia telah berupaya maksimal dalam pemberantasan TB. Seperti yang dipaparkan oleh Manteri Kesehatan RI pada Pembukaan End TB Summit dan SEARO High Level Leadership Meeting (HLLMon Ending TB yang diselenggarakan di New Delhi, India, tanggal 13-14 Mei 2018 lalu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan pencegahan dan pengendalian TBC sebagai prioritas Pembangunan Nasional 2015-2019 dengan 12 indikator yang dimonitor langsung oleh Presiden. Hal tersebut merupakan fondasi yang sangat penting dalam mensukseskan target eliminasi TBC di Indonesia pada tahun 2030. Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam aksi nyata berupa penyediaan pendanaan penuh untuk eliminasi TBC, penguatan jejaring layanan pemerintah dan swasta berbasis kabupaten kota (distric based public-private mix) dan wajib melaporkan kasus TB (mandatory notification), jaminan kesehatan nasional untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada pasien TBC, pelaksanaan pendekatan keluarga dan masyarakat, pembentukan strategi kemitraan masyarakat dan swasta di daerah, serta pencarian aktif pasien TBC, dan pengembangan inovasi penelitian dan pengembangan kebijakan TBC.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Sebagai masyarakat yang menjadi sasaran program pemerintah, langkah yang bisa dilakukan sangat sederhana. Bila belum tertular kuman TB, maka lakukan pencegahan dengan menjalankan program GERMAS. Penulis yakin, program ini telah dikenal oleh semua lapisan masyarakat. Bila kita mulai menunjukkan gejala TB, maka saat petugas dan kader kesehatan “ketuk pintu”, jangan sampai tidak dibuka.

Salam Sehat!

Penulis: Saverinus Suhardin, S.Kep.,Ns
(Perawat, Almuni Pendidikan Ners FKp Unair dan pengajar di Akper Maranatha Kupang)

Referensi:

Mungkin Anda juga menyukai