Setiap Orang Bisa Membantu Ibu Menghindari Depresi Postpartum – Mari Mulai dari Hal Terkecil!

Tanggal 8 Januari 2018 yang baru lalu, seorang ibu tega mengajak bayinya yang baru berusia 10 bulan terjun dari lantai 11 sebuah hotel di Pati, Jawa Tengah. Penyebab pasti, hingga saat ini tak diungkap oleh pihak kepolisian, namun kuat dugaan, hal ini terjadi karena si ibu menderita depresi postpartum. Ia sudah beberapa kali mencoba untuk bunuh diri, namun sebelumnya selalu bisa digagalkan oleh keluarga. Kali ini, ia berhasil.

Kasus si ibu di Pati tersebut bukan yang pertama kalinya terjadi.

Kasus Andrea Pia Yates di Texas, Amerika Serikat,  tahun 2001 yang lalu mungkin adalah satu contoh kasus pembunuhan anak yang secara jelas dinyatakan disebabkan oleh depresi postpartum, atau depresi pasca melahirkan. Andrea telah membenamkan 5 anaknya yang berusia antara 6 bulan hingga 7 tahun ke bak mandi hingga tewas.

“Saya ini ibu yang buruk. Saya ini iblis. Cara saya membesarkan mereka tidak akan menyelamatkan mereka. Mereka ditakdirkan binasa dalam api neraka.”

Demikian penjelasan dari Andrea, saat ditanyai alasannya membunuh kelima anaknya.

Kedua kasus tersebut bisa menjadi contoh mengenai betapa buruknya kesehatan mental para ibu pasca persalinan. Mirisnya, semua itu tidak terbaca oleh siapa pun hingga sudah terlambat.

Akankah kita melupakan mereka dan tidak belajar dari pengalaman pahit ini?

Depresi Postpartum Tidak Muncul Tiba-tiba

Sebelum sampai ke depresi postpartum, seorang ibu, yang memang berpeluang untuk mengidap depresi pasca persalinan, akan melewati beberapa tahap dan gejala terlebih dahulu, yaitu:

1. Tahap Postpartum Blues

Muncul pada beberapa jam hingga hari ke-14 pasca persalinan. Gejala yang terjadi bisa bervariasi antara ibu yang satu dengan yang lain, tapi utamanya meliputi:

  • Mudah berubah mood secara drastis
  • Gelisah dan sedih hingga suka menangis tanpa sebab
  • Mudah marah dan cemas
  • Lebih cepat capek dan merasa kewalahan
  • Konsentrasi menurun
  • Susah tidur dan nafsu makan berkurang (atau berlebihan)

Riset menyebutkan, faktor dominan yang dapat memicu postpartum blues adalah menurunnya kadar hormon progesteron, estrogen, dan endorphin, serta ketidakstabilan kelenjar tiroid.

Faktor lain yang diduga turut berkontribusi memicu postpartum blues antara lain:

  • Stres selama kehamilan
  • Komplikasi persalinan
  • Perasaan kecewa dengan keadaan fisik diri dan bayinya
  • Kelelahan akibat proses persalinan

Ibu dengan postpartum blues cenderung menghindari interaksi dengan bayinya, sehingga intensitas perhatian dan bimbingan yang dibutuhkan bayi untuk berkembang secara baik menjadi berkurang.

Data statistik secara global memperkirakan 20% ibu bersalin mengalami postpartum blues. Penelitian postpartum blues di Puskesmas Yogyakarta menyebutkan, bahwa diperkirakan ada 50-70% ibu bersalin di Indonesia mengalami postpartum blues.

Gejala postpartum blues perlahan dapat diatasi jika proses penyesuaian ibu berjalan lancar dengan dukungan keluarga yang cukup.

Sayangnya, gejala postpartum blues seringkali dianggap wajar dan menjadi bagian dari proses penyesuaian diri seorang ibu, sehingga tidak teratasi secara tuntas sejak awal.

2. Depresi postpartum

Gejala postpartum blues yang tidak tuntas tertangani dan berlangsung lebih dari 2 pekan akan berlanjut menjadi depresi postpartum. Gangguan ini memperlihatkan gejala postpartum blues dalam bentuk yang lebih intens.

Gejala depresi postpartum biasanya meliputi:

  • Perasaan takut yang berlebihan sepanjang waktu
  • Emosi labil
  • Mudah tersinggung
  • Perasaan bersalah
  • Kelelahan yang sangat
  • Kehilangan selera makan
  • Sulit tidur nyenyak
  • Merasa tidak mampu merawat bayi
  • Lemah konsentrasi
  • Kesulitan mengingat
  • Merasa putus asa
  • Kekhawatiran berlebihan tentang kesehatan bayi, sehingga menyebabkan ibu merasa buruk, tidak becus, dan jahat pada anaknya.

Jika depresi postpartum ini sampai ke tahap yang ekstrem, maka ide untuk bunuh diri pun muncul. Tanpa penanganan yang serius, depresi postpartum dapat menyebabkan dampak jangka panjang pada kehidupan ibu dan bayi.

Episode postpartum depresi dapat menjadi awal dari depresi kronis sepanjang hidup seorang ibu. Depresi kronis pada ibu akan memengaruhi pertumbuhan anak di masa depan dalam berbagai aspek seperti emosi, kognitif, perilaku, dan hubungan interpersonalnya.

3. Psikosis postpartum

Diperkirakan satu hingga 2 dari 1000 ibu yang bersalin mengalami psikosis postpartum.

Gejala akan muncul sejak 48-72 jam pascapersalinan, dan bisa akan terus berkembang hingga lebih dari dua minggu.

Gejala yang tampak antara lain:

  • Mood yang sangat cepat berubah
  • Merasa hampa dan putus asa
  • Delusi dan halusinasi

Dua gejala terakhir ini adalah gejala yang membedakan psikosis postpartum dari depresi postpartum.

Delusi dan halusinasi merupakan kondisi seseorang yang kehilangan kontak dengan realitas dunia nyata.

Contohnya, seorang ibu mengalami delusi cemburu setelah melahirkan. Ia yakin suaminya berselingkuh, meskipun sebenarnya tidak ada bukti sama sekali. Hal ini membuat sang ibu selalu merasa curiga dan membenci apa pun yang dilakukan suaminya.

Pada halusinasi, seseorang mengalami persepsi sensori terhadap stimulus yang tidak ada. Dengan kata lain, melihat atau mengindrai sesuatu yang tak nyata. Misalnya, seorang ibu berhalusinasi mendengar bisikan yang mengajaknya ke surga dengan bunuh diri.

Kasus psikosis postpartum bisa mencapai 260 kasus per 1000 kelahiran pada perempuan yang menderita gangguan kejiwaan bipolar. Penelitian menyebutkan, psikosis postpartum bermula dari faktor biologis dan genetik. Berkembang semakin buruk dengan ketiadaan dukungan sosial dari lingkungan sekitar.

Ibu yang mengalami psikosis postpartum berpeluang besar untuk melukai hingga membunuh bayi dan dirinya sendiri, akibat delusi atau halusinasi.

Karena dampak yang serius inilah, maka diagnosis awal dan penanganan medis yang memadai sangat dibutuhkan bagi ibu sehabis bersalin.

Selain itu, pencerdasan tentang depresi pasca persalinan perlu dilakukan oleh pihak terkait, agar pengetahuan masyarakat sadar terhadap bahaya gangguan tersebut.

Yuk, kita bantu para ibu agar terhindar dari depresi postpartum!

Perasaan tidak berdaya dan putus asa akan sirna ketika seseorang merasakan dukungan dan bantuan nyata yang tulus baginya.

Demikian halnya pada ibu saat pasca persalinan. Setidaknya, ada 3 bentuk dukungan yang dapat kita berikan untuk membantunya melewati masa-masa penyesuaian dengan lebih tenang, terhindar dari gangguan emosi pasca persalinan.

1. Dukungan informasi

Dukungan informasi dapat kita berikan berupa bimbingan dan pengetahuan mengenai proses penyesuaian pasca persalinan, yang biasanya akan diberikan oleh tenaga medis pada sang ibu, dan sekaligus juga pada keluarga yang mendampinginya.

Sejauh ini, pengetahuan mengenai hal-hal seputar pasca persalinan yang berbeda antara ibu dengan keluargalah yang menimbulkan masalah baru.

Jika hanya ibu yang dibekali pengetahuan medis tentang bayi, sementara keluarganya teguh memercayai mitos seputar perawatan bayi, maka biasanya akan timbul gesekan dalam interaksi ibu dan keluarga.

Dengan demikian, tak hanya ibu yang harus mendapatkan pengetahuan cukup seputar merawat diri pasca persalinan dan merawat bayi, tetapi juga seluruh keluarga. Mulai dari suami, saudara kandung, saudara ipar, orang tua si ibu, bapak dan ibu mertua, dan semua anggota keluarga pun harus mendapatkan pengetahuan yang sama dengan ibu.

2. Dukungan instrumental

Dukungan instrumental ini berupa pendampingan dan pertolongan langsung dalam merawat bayi, serta penyediaan perlengkapan ibu dan bayi.

Kehadiran tenaga kesehatan yang datang untuk membantu merawat bayi telah menjadi standar dalam penanganan kesehatan ibu bersalin di berbagai negara. Ada pula  negara-negara yang memberi tunjangan finansial pasca melahirkan untuk memastikan ibu dan anak mendapatkan kehidupan yang layak.

Bahkan di Swedia, seorang ayah juga berhak mendapatkan cuti melahirkan selama 2 tahun, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Luar biasa ya.

Bentuk perhatian dari pemerintah dan masyarakat seperti ini sangat berarti bagi kondisi ibu bayi.

3. Dukungan emosional

Dukungan emosional mencakup ungkapan perhatian, penghargaan, dan penerimaan untuk sang ibu.

Umumnya, selama ini, semua bentuk perhatian, pujian, dan sambutan manis hanya diberikan pada sang bayi yang baru lahir saja, bukan?

Perjuangan dan kelelahan seorang ibu seringkali diabaikan. Jarang ada yang bertanya tentang perasaannya, apalagi menunjukkan perhatian dengan memberinya hadiah khusus, bukan berbentuk perlengkapan bayi.

Lalu, apa yang bisa kita—sebagai keluarga dan orang-orang terdekat—bisa berikan pada seorang ibu yang baru saja melewati masa-masa pasca persalinan sebagai bantuan?

Sebenarnya, mudah saja, yaitu menghindari sikap-sikap yang justru membuat si ibu semakin depresi, di antaranya:

1. Membully dan menghakiminya

Sering secara tidak sadar, kita bukannya meringankan beban sang ibu yang baru dalam tahap penyesuaian diri dengan bayi, tapi justru membully-nya.

Banyak hal negatif yang kita sampaikan pada mereka, mulai dari memberikan komentar miring mengenai proses kelahirannya yang melalui operasi (bedah sesar), terjadinya komplikasi saat lahir, ASI yang kurang lancar, hingga soal berat badan bayi yang belum berkembang.

Semua ‘ketidakberesan’ bayi ini dialamatkan pada ibu, seolah-olah ibu adalah penyebab setiap hal buruk itu.

Inilah yang harus dihentikan. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari hal paling remeh, dan dilakukan saat ini juga. Jangan sampai kita menjadi bagian dari pemicu  depresi postpartum pada seorang ibu.

2. Mengabaikan keluhannya

Saat seseorang merasa berat menjalani suatu hal biasanya ia akan mengeluh pada orang terdekatnya. Jika si ibu sedang berusaha mengungkapkan perasaannya pada Anda, maka jangan abaikan.

Dengarkanlah, dan perhatikan setiap curhatnya. Kadang ia juga tak menuntut ada solusi dari Anda. Dengan mengeluarkan semua unek-unek, si ibu bisa saja sudah membaik kondisinya.

Namun, jika memang Anda punya solusi yang tepat, tak ada salahnya juga untuk disampaikan.

3. Tak memberinya waktu untuk istirahat

Layaknya seorang ibu, pasti mereka sayang pada anaknya. Cinta mati. Semua-mua kalau perlu dikorbankan demi buah hati tercinta.

Di sinilah, kita sebagai keluarga dekat perlu mengeremnya. Ingatkan, bahwa si ibu juga wajib untuk mencintai dirinya sendiri. Si bayi bisa berinteraksi dulu dengan ayahnya, dengan kakeknya, dengan neneknya, dengan anggota keluarga yang lain.

Begitu semua kebutuhan bayi dipenuhi, maka itu waktunya ibu untuk rehat sejenak. Terlepas dari bayi, ibu bisa tidur, mandi berlama-lama, membaca novel kesayangan, atau menonton sinetron India favorit.

Hal-hal kecil yang membuatnya bahagia pasti akan membuatnya bisa memenuhi kewajibannya sebagai ibu dengan bahagia pula.

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa semakin besar dukungan yang dirasakan oleh ibu, maka semakin kecil kemungkinan depresi postpartum berlanjut.

Hal ini juga berlaku pada gejala stres selama kehamilan. Semakin baik dukungan pada ibu hamil, semakin rendah pula risiko untuk mengalami stres. Ibu hamil yang bahagia kelak akan dapat menjalani proses persalinan dan penyesuaian diri dengan baik. Mereka aman dari depresi yang mengintainya dalam membersamai buah hati.

Mari menjadi bagian dari solusi, dengan langkah kecil yang kita mampu, dan saat ini juga.

Credit Title

  • Penulis                 : Yunda Fitrian, S. Psi
  • Editor 1                : Putri Tiara Rosha,SKM.,MPH
  • Editor 2                : Fitri Handayani,S.Kep.,MPH
  • Content Writer  : Carolina N. Ratri
  • Redaktur 1          : dr. Fatwa Sari Tetra Dewi,MPH.,Ph.D
  • Redaktur 2          : dr. Fitriana,MSc.,FM

Referensi

  1. Fatmawati, D.A. 2014. Analisis Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Postpartum Blues Pada Ibu Postpartum Di Puskesmas Wilayah Kerja Kota Yogyakarta. Tesis. Program Magister Keperawatan. Fakultas Kedokteran UGM. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=75331
  2. Idiani, Sri dan Basuki, Bastaman. (2012). Postpartum depression in Indonesian women: a national study. Diakses dari http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/HSJI/article/view/396  pada 10 Februari 2018
  3. Robertson, E., Celasun, N., and Stewart, D.E. (2003). Risk factors for postpartum depression. In Stewart, D.E., Robertson, E., Dennis, C.-L., Grace, S.L., & Wallington, T. (2003). Postpartum depression: Literature review of risk factors and interventions. Diakses dari http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/mmh%26chd_chapter_1.pdf  pada 10 Februari 2018
  4. http://www.curationis.org.za/index.php/curationis/article/viewFile/1680/2177/10567 diakses pada 10 Februari 2018

Mungkin Anda juga menyukai