Ini Dia 4 Faktor Penyebab Obesitas pada Anak- Belajar dari Kasus Arya si Anak Obesitas dari Karawang
Sudah tahu kan, kasus Arya, si anak obesitas yang tinggal di pinggiran Kabupaten Karawang, Jawa Barat?
Yups, Arya yang baru berusia 10 tahun ini mendapat gelar anak tergemuk sedunia, dengan berat badannya yang mencapai 192 kg! Wow!
Kok bisa ya? Apa yang menyebabkan Arya sampai obesitas seperti itu?
Menurut keterangan orang tuanya, Arya memang banyak mengonsumsi makanan instan dan kemasan saban harinya. Ia bisa menghabiskan 20 kotak teh kemasan, 2 bungkus mi instan, dan makan 5 kali dalam sehari. Itu belum termasuk camilan-camilan yang ia konsumsi di sela-sela waktu makan.
Kebiasaan Arya ini sudah berlangsung sejak ia berusia 8 tahun. Makanya nggak heran, ia pun mengalami obesitas. Arya kini sedang dalam perawatan dokter dan tim medis RS Hasan Sadikin Bandung.
Sebenarnya, penduduk Indonesia sendiri mengalami 2 masalah gizi, yaitu kurang gizi dan obesitas. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, anak usia 5-12 tahun yang menderita obesitas adalah sebesar 8.8%, sedangkan Riskesdas tahun 2013 memaparkan data, ada peningkatan persentase yaitu sebesar 10.8%.
Ya, betul sekali. Obesitas pada anak Indonesia memang meningkat dari tahun ke tahun. Jika tak ditangani dengan cepat dan tepat secara serius, maka akan ada 6.2 juta anak obesitas di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia akan menempati peringkat ke-8 negara dengan jumlah anak obesitas terbesar di dunia.
Ternyata ini 4 alasan utamanya:
[wc_accordion collapse=”1″ leaveopen=”0″ class=”” layout=”none”]
[wc_accordion_section title=”1. Lebih suka makanan instan dan snack tinggi kalori“]
Siapa yang bisa menyangkal, kalau semua makanan kemasan, instan dan snack yang beredar di pasaran itu memang enak banget?
Ya, makanan-makanan itu enak sekali, apalagi bagi anak-anak sehingga membuat mereka ketagihan mengonsumsinya. Minuman yang manis juga akan membuat anak lebih memilihnya ketimbang hanya minum air putih.
Tambahan perasa, MSG, pun pewarna membuat makanan-makanan tersebut semakin menarik. Harganya? Murah! Coba saja kita tengok. Makanan sehat—makanan organik misalnya—harganya di pasaran jauh lebih tinggi ketimbang makanan frozen food, junk food dan jajanan lainnya.
Jelas saja, bahkan orang tua Arya yang merupakan keluarga sederhana pun, mampu membelikan Arya makanan-makanan itu setiap hari.
[/wc_accordion_section]
[wc_accordion_section title=”2. Anak kurang gerak“]
Zaman sekarang, anak-anak sudah disuguhi tontonan dan games yang mengasyikkan, baik dari gadget maupun televisi mereka. Alhasil, mereka semakin kurang bergerak kalau sudah fokus ke gadget atau televisi.
Tontonan instan dan berbagai games ini akhirnya membuat anak-anak cenderung malas untuk bermain aktif di luar rumah. Mereka tak lagi harus bersepeda ke rumah teman, karena mereka cukup menghubungi teman mereka melalui WhatsApp atau aplikasi pesan online yang lain.
Saat mereka merasa lapar pun, mereka enggan beranjak. Makanan dan minuman manis berenergi sudah cukup untuk menunda lapar mereka hingga tontonan atau games yang dimainkannya selesai.
Di rumah tak tersedia makanan yang mereka inginkan? Tinggal pesan saja melalui layanan pesan antar. Tinggal klak-klik, makanan datang sendiri ke depan pintu. Orang tua yang membayar.
Kurangnya gerak seperti ini jelas akan menghambat pembakaran kalori dalam tubuh. Akibatnya, sudah jelas. Anak pun mengalami obesitas.
[/wc_accordion_section]
[wc_accordion_section title=”3. Terpapar terlalu banyak iklan“]
Iklan? Apa hubungannya iklan dengan obesitas yang dialami oleh anak-anak?
Ada hubungannya, dekat malah. Ya, iklan-iklan yang ditayangkan di televisi juga punya andil dalam faktor penyebab obesitas anak ini. Bagaimana tidak, setiap hari anak-anak yang menonton televisi diberi informasi mengenai makanan kemasan terbaru yang menggoda untuk mereka coba.
Begitu dicoba, terasa enak, anak pun ketagihan.
Tahukah Anda, bahwa setidaknya terdapat 12 slot tayangan iklan dalam setiap acara ataupun program televisi sehari-hari, dan separuhnya merupakan tayangan iklan makanan instan yang tinggi energi dan miskin zat gizi. Juga iklan minuman manis yang (katanya) mengandung energi.
Tambahan lagi, di masa anak-anak, pengaulan antar teman membuat mereka ingin mencoba apa yang dilihat. Ibaratnya, kalau teman-teman sudah coba dan mereka sendiri belum itu rasanya kok kudet banget.
Ini juga berpengaruh terhadap pemilihan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Anak-anak menjadi termotivasi untuk mengonsumsi agar bisa diterima saat bermain maupun berkumpul bersama teman-temannya.
[/wc_accordion_section]
[wc_accordion_section title=”4. Sering menyajikan makanan instan“]
Ya, namanya juga makanan instan. Semuanya—mi instan, snack kemasan dan minuman berenergi—itu nggak memerlukan usaha banyak untuk menyiapkannya.
Karakter keluarga kekinian yang super sibuk pun ikut berpengaruh. Ayah—yang tak punya waktu mengontrol—dan ibu—yang tak bisa berlama-lama memasak di dapur—akhirnya menyerah.
Maaf, tak ada waktu untuk memasak, tak ada waktu pula untuk menyiapkan makanan.
Jalan tercepat, mereka mencari yang terpraktis. Memberi makanan-makanan instan. Anggapannya anak jadi anteng, bisa kembali bermain atau berkutat dengan gadget atau televisi. Ayah dan ibu bisa kembali bekerja atau mengerjakan hal lain yang dirasa lebih penting.
[/wc_accordion_section]
[/wc_accordion]
Lalu bagaimana? Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi obesitas anak ini? Atau, setidaknya mengurangi risikonya?
Kalau dilihat-lihat banyak sekali PR kita untuk bisa mengatasi masalah obesitas pada anak ini. Namun, semua selalu bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana dan kecil.
Jadi, mari kita mulai dari 2 langkah ini:
[wc_accordion collapse=”1″ leaveopen=”0″ class=”” layout=”none”]
[wc_accordion_section title=”1. Perbaiki Pola Makan Keluarga“]
Gambar: Piramida makanan pedoman gizi seimbang. Sumber: http://dinkes.inhukab.go.id
Yes, semua memang berawal dari keluarga.
Keluarga jugalah yang menjadi kunci pemecahan masalah obesitas pada anak ini. Anak akan bergantung dengan apa yang disajikan dalam keluarga, terutama oleh ibunya.
Jadi, pola makan keluarga, terutama soal pemilihan dan penyajian makan, perlu menjadi perhatian.
Keluarga, dalam hal ini ayah dan ibu, harus mempunyai bekal pengetahuan yang baik mengenai kecukupan gizi dan nutrisi anak, sehingga mereka akan bisa memilihkan makanan apa yang baik untuk disajikan.
Juga pentingnya membaca label kemasan dengan saksama, penting untuk dipahami oleh orang tua. Sehingga orang tua paham, seberapa sih batas pengonsumsian gula, garam dan lemak yang terbaik dan pas bagi anak-anak mereka.
[/wc_accordion_section]
[wc_accordion_section title=”2. Meningkatkan aktivitas fisik“]
Ides, seorang ahli gizi dari RS Hasan Sadikin menjelaskan, bahwa Arya memiliki kebiasaan bermain games di gadget sampai berjam-jam, sambil ngemil.
Karena itu, ia menyampaikan, bahwa aktivitas fisik sangat penting bagi anak. Hilangnya lapangan bermain bagi anak-anak juga ternyata menjadi salah satu faktor mengapa anak-anak sekarang lebih suka bermain gadget di dalam rumah.
Ajaklah anak-anak untuk banyak beraktivitas fisik, misalnya seperti jalan-jalan kaki santai di seputar kompleks rumah, atau melakukan permainan di luar rumah yang melibatkan fisik. Sesuaikan dengan hobi dan minat si anak.
Untuk mengatasi permasalah gizi pada anak Indonesia, terutama yang menyangkut obesitas, memang perlu kerja sama dari banyak pihak. Mulai dari orang tua si anak, pihak sekolah, lingkungan tempat tinggal, bahkan pemerintah.
Semua pihak harus bekerja sama mengawasi berat badan anak satu sama lain. Pun harus ada pengawasan juga terhadap peredaran makanan kemasan di pasaran, agar lebih terkendali baik mutu maupun iklannya.
[/wc_accordion_section]
[/wc_accordion]
Credit Title
- Penulis : Nurlienda Hasanah
- Editor 1 : Putri Tiara Rosha,SKM.,MPH
- Editor 2 : Fitri Handayani,S.Kep.,MPH
- Content Writer : Carolina N. Ratri
- Redaktur 1 : Dr. Supriyati,S.Sos.,M.Kes
- Redaktur 2 : dr. Fitriana,MSc.,FM
Referensi:
- Aranceta-Bartrina, Javier and Carmen Pérez-Rodrigo. 2016. Determinants of childhood obesity: ANIBES study. Nutr Hosp 33(Supl. 4) : pp. 17-20, doi: http://dx.dpi.org/10.20960/nh.339
- Balog, Joseph E. 2015. Economic Disruption and Childhood Obesity: Distraction, Disconnection, Displacement of Children’s Health, and a Need for Social Change. Health Education & Behavior, Vol. 42(1S) 67S–75S
- Gillison, Fiona B. 2016. Can it be harmful for parents to talk to their child about their weight? A meta-analysis. Preventive Medicine 93, pp. 135–146
- Hawkes, Corinna, Trenton G Smith, Jo Jewell, Jane Wardle, Ross A Hammond, Sharon. 2015. Smart food policies for obesity prevention. The Lancet, Volume 385, Issue 9985, pp. 2410–2421
- Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
- Kleij, R. M. J. J. van der, M. R. Crone, R. Reis and T. G. W. 2016. Critical stakeholder determinants to the implementation of intersectoral community approaches targeting childhood obesity. Oxford Journal, Vol.31 no.6, pp. 697–715.
- Lash D.N., Smith J.E. & Rinehart J.K. 2016. Can the Theory of Planned Behavior Predict Dietary Intention and Future Dieting in an Ethnically Diverse Sample of Overweight and Obese Veterans Attending Medical Clinics? Appetite (2016), doi: 10.1016/j.appet.2016.01.013
- Lobstein, T and Jackson-Leach. 2016. Planning for the worst: estimates of obesity and comorbidities in school-age children in 2025. Pediatric Obesity 11, pp. 321–325.
- McPherson, Klim. 2015. Obesity 4, Child and adolescent obesity: part of a bigger picture. Lancet 385, pp. 2510–2520
- Robertson, Annaleise, Barbara Mullan and Jemma Todd. 2014. A qualitative exploration of experiences of overweight young and older adults. An application of the integrated behaviour model. Appetite 75, pp. 157–164
- Stewart, Laura. 2014. Childhood obesity. MEDICINE 43:2, OBESITY AND METABOLIC COMPLICATION
- Snelling, A., 2014. Introduction to Health Promotion. San Fransisco: Jossey-Bass Wiley Brand
- Suparman. 2016. Belajar dari Masalah Arya, Jangan Berlebihan Manjakan Anak. http://www.viva.co.id/indepth/fokus/797090-belajar-dari-masalah-arya-jangan-berlebihan-manjakan-anak