7 Fakta Penyakit Difteri Berikut Akan Membuat Anda Percaya Kalau Penyakit Ini Sangat Berbahaya

Tanggal 11 Desember 2017 yang lalu, telah dimulai program Imunisasi Tanggap Kejadian Luar Biasa (Outbreak Response Immunization/ORI) untuk menangani wabahnya penyakit difteri yang merebak di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Kabupaten dan kota yang dicakup dalam program tersebut antara lain Jakarta Barat, Jakarta Utara, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Kota Bekasi, Depok, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Kota Serang, dan Kota Tangerang Selatan.
Kejadian mewabahnya penyakit difteri ini sungguh mengejutkan banyak pihak. Tak ayal pula, menimbulkan kepanikan pada masyarakat. Ya, bagaimana tidak, out of nowhere tiba-tiba saja ada pemberitaan bahwa banyak korban jatuh akibat penyakit difteri ini.
Difteri. Apa sebenarnya difteri itu? Dari mana datangnya? Apa yang menyebabkannya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, barangkali Anda pun sudah googling dan menemukan banyak sekali artikel yang mengulas penyakit ini.
Namun, Anda mungkin baru akan benar-benar yakin bahwa penyakit ini sangat berbahaya setelah membaca 7 fakta mengenai penyakit difteri berikut ini.
Penyakit difteri pertama kali terdeskripsikan oleh Hippocrates pada abad 5 SM. Hmmm, jadi hitung saja deh usianya berapa sekarang ini.
Bakterinya sendiri baru ditemukan oleh Edwin Klebs, seorang ahli patologi berkebangsaan Jerman dan Swiss, pada tahun 1882. Bahkan, bakteri difteri ini sebelumnya dinamakan bakteri Klebs-Loeffler, sebelum akhirnya dinamai menjadi Corynebacterium diphteriae.
Menurut data World Health Organization (WHO), tahun 2015 tercatat ada 4.500 kasus difteri ditemukan di seluruh penjuru dunia. Angka ini menurun drastis setelah sebelumnya tercatat ada 100.000 kasus difteri di tahun 1980.
Berkurangnya jumlah kasus penderita difteri dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah suksesnya program vaksinasi yang dicanangkan oleh WHO sejak tahun 1990-an secara gencar.
Difteri pernah hilang dari Indonesia pada tahun 1990-an, karena Indonesia menuruti program WHO untuk menggalakkan program imunisasi serentak.
Namun, menurut Data Kementerian Kesehatan, penyakit ini mulai muncul lagi tahun 2009, dan secara bertahap makin meningkat jumlah kasusnya. Pada tahun 2011, sebenarnya pemerintah Indonesia telah menetapkan wabah difteri sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) karena meningkatnya jumlah penderita difteri secara signifikan, yakni 3.353 kasus yang terjadi hingga tahun 2016.
Hal ini menjadikan Indonesia menduduki peringkat kedua penderita difteri terbanyak setelah India.
Dan kemudian, di bulan November 2017, telah terjadi 593 kasus difteri dengan 32 kasus di antaranya meninggal dunia. Hal ini mau tidak mau membuat pemerintah Indonesia dan kita semua waspada. Bagaimana tidak? Sudah 20 provinsi dinyatakan sebagai daerah endemi difteri, termasuk di dalamnya adalah 95 kabupaten dan kota lho!
Mengapa difteri bisa “bangkit lagi” di Indonesia?
Menurut Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp. AK, seperti yang dilansir oleh situs MSN Indonesia, ada beberapa faktor yang menyebabkan difteri muncul kembali di Indonesia, di antaranya:
- Imunisasi tidak lengkap, karena Data Kementerian Kesehatan juga mencatat, bahwa 31% dari 593 kasus tersebut, para penderita difteri tidak diimunisasi secara lengkap sejak masa kanak-kanak
- Adanya gerakan antivaksin dalam masyarakat kita, terbukti dengan Data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa 66% penderita ternyata tidak pernah mendapatkan vaksinasi sama sekali sebelumnya.
- Tidak mendapatkan vaksin ulangan dalam kurun waktu 10 tahun
- Kesadaran masyarakat akan penyakit difteri masih sangat kurang. Generasi zaman now mungkin memang belum sadar sepenuhnya akan penyakit ini, karena di tahun 1990-an penyakit ini sempat punah dan menghilang, sehingga sosialisasinya pun berkurang.
Difteri dikatakan sebagai “air and surface attacker”, yang artinya bakteri difteri bisa menyerang melalui udara dan permukaan.
Bersin dan batuk dari penderita difteri akan mengantarkan kuman-kuman ke partikel udara. Jika seseorang mengambil udara yang mengandung kuman ini saat bernapas, maka bakteri difteri akan langsung ikut masuk dan siap menginfeksi si calon penderita.
Hal yang bisa membahayakan adalah terkadang si calon penderita ini tidak menyadari bahwa bakteri difteri sedang berinkubasi dalam tubuhnya, karena memang tidak menunjukkan gejala apa pun. Baru deh 2 – 5 hari setelahnya, muncullah gejala-gejala khas difteri, seperti demam, tenggorokan sakit hingga serak, sulit bernapas, pembengkakan kelenjar limfe di leher, pilek, dan kemudian muncul membran berwarna putih di tenggorokan penderita.
Si bakteri difteri ini juga merupakan bakteri yang bisa tinggal di suatu permukaan rata. Ia bisa sangat sabar menunggu korban selanjutnya untuk diserang. Misalnya saja, melalui permukaan tisu yang habis digunakan untuk menyusut pilek dari hidung penderita difteri. Saat orang lain tak sengaja menyentuhnya, maka si bakteri difteri pun dengan mudah masuk ke tubuh orang tersebut dan siap menginfeksi lagi.
Karena itu, saat seorang penderita didiagnosis positif menderita difteri, ia harus segera diisolasi setidaknya selama 2 hari. Tak hanya itu, orang-orang yang ada di sekitarnya pun harus segera diperiksa juga.
Di masa lalu, penyakit difteri identik dengan penyakit yang diderita oleh anak-anak. Namun, sebenarnya difteri adalah penyakit yang tidak mengenal usia. Data Kementerian Kesehatan lagi-lagi menunjukkan fakta, bahwa difteri telah menyerang manusia dari rentang umur 3.5 – 45 tahun.
Difteri juga merupakan penyakit yang bisa menyerang lagi penderita yang pernah mengidapnya. Jadi, jika Anda sudah pernah menderita difteri, maka ini tidak berarti Anda akan kebal dengan serta merta. Anda harus tetap mendapatkan vaksin demi mencegah bakteri difteri kembali menyerang.
Jadi, bakteri difteri ini adalah bakteri “buta”, ia bisa menyerang siapa pun tanpa ampun.
Difteri pada awalnya memang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan. Namun dalam perkembangannya, difteri bisa menyerang seluruh bagian dari tubuh kita lho. Coba kita lihat, bagian tubuh mana saja yang kena efek dari infeksi bakteri satu ini.
- Kulit
Difteri juga bisa menyerang kulit, sehingga menimbulkan luka seperti borok. Luka ini akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi bekasnya tidak akan hilang. - Saluran pernapasan
Sel-sel yang mati akibat serangan bakteri difteri akan membentuk membran berwarna abu-abu keputihan yang menutup jalan napas kita. Selain itu, partikel-partikel membran ini juga bisa luruh dan akhirnya akan masuk ke dalam paru-paru. - Jantung
Selain masuk ke paru-paru, partikel membran juga bisa masuk ke dalam jantung, yang bisa menyebabkan peradangan pada otot jantung. Paling parah, hal ini bisa mengakibatkan kematian mendadak. - Bagian lain tubuh
Akibat napas yang terhambat, sudah pasti pasokan oksigen ke seluruh tubuh juga terhambat. Maka organ tubuh kita yang lain pun jadi terpengaruh, seperti ginjal dan saraf.
Pencegahan penyebaran bakteri difteri hanya bisa dilakukan dengan satu cara, yaitu imunisasi.
Biasanya vaksin difteri akan diberikan bersama dengan vaksin tetanus dan vaksin pertusis (batuk rejan) saat kita masih bayi hingga berusia 5 tahun, sebanyak 5 kali.
Vaksin difteri, tetanus dan pertusis ini merupakan vaksin wajib yang diberikan pada bayi dan anak-anak. Di fasilitas-fasilitas kesehatan bahkan diberikan secara gratis oleh pemerintah, sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit difteri.
Saat bayi diberi vaksin DTP (Difteri, Tetanus, Pertusis) ini biasanya kemudian akan mengalami efek samping, seperti suhu badan naik sedikit. Namun, itu biasa terjadi. Dalam waktu tak lebih dari sehari, biasanya suhu badan sudah pulih seperti biasa, dan anak pun makin sehat.
Setelah itu diberikan vaksin ulang setiap 10 tahun sekali. Biasanya sih akan diberikan saat anak berusia 10 tahun dan 18 tahun. Anda dapat mengulanginya lagi setiap 10 tahun, untuk perlindungan yang lebih optimal.
Masih menurut dr. Aman, dengan vaksinasi—meski hanya 95% dari target yang tercakup—maka akan terbentuk kekebalan kelompok di mana bakteri tak akan bisa berkembang. Jadi, 5% yang tidak mendapatkan vaksinasi bisa terlindung karena ada “benteng” dari 95% yang divaksinasi.
Masalahnya adalah kalau pencapaian target vaksinasinya kurang dari 95%, maka kelompok tersebut akan dengan mudah terserang oleh bakteri difteri.
Nah, setelah Anda mengetahui beberapa fakta mengenai penyakit difteri di atas, tentunya Anda sekarang sudah yakin kan, kalau penyakit ini sangat berbahaya dan tidak bisa diremehkan?
Semoga dengan memahami bahaya penyakit difteri ini, Anda tidak ada lagi menolak vaksinasi difteri pada anak-anak Anda ya.
Segera jadwalkan imunisasi pada anak-anak sesuai usianya ke fasilitas kesehatan terdekat. Penuhi hak anak-anak kita untuk sehat. Jangan biarkan mereka menantang penyakit ini sendirian tanpa perlindungan yang sebenarnya bisa didapatkan dengan mudah, dan bahkan gratis.
Salam sehat!
Credit Title
- Penulis : Carolina N. Ratri
- Editor : Fitri Handayani,S.Kep.,MPH
- Redaktur 1 : dr. Fatwa Sari Tetra Dewi,MPH.,Ph.D
- Redaktur 2 : dr. Fitriana,MSc.,FM
Referensi:
- Atkinson, William (May 2012). Diphtheria Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases (12 ed.). Public Health Foundation. pp. 215–230. ISBN 9780983263135. Archived from the original on 15 September 2016.
- http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/diphtheria/en/
- Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN (2016). Situasi Imunisasi di Indonesia.
- WHO (2016). EPI Fact Sheet. Indonesia – Immunization system highlights.
- “Diphtheria vaccine”(PDF). Wkly Epidemiol Rec. 81 (3): 24–32. 20 January 2006. PMID 16671240. Archived (PDF) from the original on 6 June 2015.
- WHO (2017). Diphtheria reported cases.
- WHO (2016). Indonesia: WHO and UNICEF estimates of immunization coverage: 2016 revision.
- IDAI (2017). Imunisasi. Jadwal Imunisasi 2017.
- https://www.msn.com/id-id/kesehatan/health/penyakit-difteri-pernah-hilang-di-indonesia-mengapa-muncul-lagi/ar-BBGu1hq?li=AAfukE3