7 Fakta Menarik tentang Perilaku Seksual Remaja yang Harus Anda Tahu
Setujukah Anda, jika disebutkan bahwa masa remaja merupakan masa tahapanpencarian jati diri bagi setiap orang?
Memang, di masa ini para remaja dianugerahi rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala sesuatu, lantaran kesehatan yang optimal secara fisik dan juga semangat mudanya, mereka mampu menciptakan hal-hal kreatif.
Namun, sering kali rasa ingin tahu yang menyala hebat ini tak dibarengi dengan arah, sehingga membuat remaja menjadi sangat ‘rapuh’ ketika dihadapkan kepada hal-hal yang nampak menyenangkan tapi sebenarnya membahayakan diri mereka. Sebut saja konsumsi alkohol, merokok, NAPZA serta perilaku seksual yang berisiko.
Sebuah penelitian menyebutkan, bahwa dalam masa pencarian jati diri, sering kali remaja melakukan hal berisiko, khususnya dalam perilaku seksualitas mereka.
Sebenarnya apa ya, yang bisa menyebabkan remaja ini tertarik sekali dan penasaran dengan seksualitas, hingga kemudian melakukan seks bebas?
Menurut Rintyastini (2006: 108) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab remaja terjebak dalam seks bebas yaitu:
- Perubahan hormon yang berkembang saat memasuki masa remaja, organ-organ reproduksi mereka sudah mematang dan membutuhkan penyaluran.
- Motivasi untuk mewujudkan rasa sayang dan cinta, yang mungkin baru pertama kalinya mereka rasakan.
- Rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui.
- Faktor lingkungan, misalnya terpengaruh teman-teman.
- Adanya budaya barat yang masuk ke Indonesia dan mengikis budaya ketimuran kita secara perlahan tapi pasti, akibat globalisasi.
- Kurangnya dasar-dasar keimanan di dalam diri.
Perilaku remaja ini memang semakin menarik untuk dibahas di zaman globalisasi dan perkembangan teknologi seperti sekrang ini. Karena, seperti yang sudah disebutkan di atas, kedua hal yang tak bisa kita bendung datangnya ini sangat memengaruhi paparan informasi dan gaya hidup yang ingin dianut remaja.
Oleh karena itu diperlukan sebuah kendali yang mampu mengarahkan perilaku seksual remaja supaya jauh dari hal-hal yang bersifat negatif dan membahayakan kesehatan mereka. Arahan ini bersifat multilevel, yaitu mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat bahkan pemerintah.
Sayangnya, Indonesia—yang memegang erat budaya ketimuran—sebagian masyarakatnya masih menganggap tabu pembahasan tentang kesehatan reproduksi ini.
Apalagi, penolakan MK terhadap usulan masuknya kurikulum kesehatan reproduksi pada sektor pendidikan yang baru lalu juga membuat hambatan dalam pemberian informasi terkait kesehatan reproduksi pada remaja semakin bertambah.
Hambatan-hambatan tersebut, tentu saja, membuat remaja semakin kehilangan sumber informasi berkualitas terkait kesehatan reproduksi.
Berikut merupakan fakta lain yang didapatkan dari hasil kajian Pusat Penelitian Kependudukan LIPI pada tahun 2017 dibalik perilaku seksual remaja yang berisiko.
1. Dibandingkan Perempuan, Remaja Laki-Laki Lebih Banyak Memiliki Perilaku Berisiko Terkait Seksualitas.
Fakta ini sangat sesuai dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Namun, budaya yang menganggap tabu perempuan untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah ini membuat perempuan cenderung tertutup terkait perilaku seksualitasnya.
Sehingga fakta ini masih perlu dipertanyakan kebenarannya karena sangat berkaitan erat dengan budaya.
2. Remaja Butuh ‘Teman’ untuk Berkeluh Kesah tentang Kesehatan Reproduksi secara Nyaman
Pemahaman tentang kesehatan reproduksi merupakan salah satu hal yang perlu diberikan pada remaja.
Begitu juga dengan remaja yang membutuhkan ‘teman’ untuk berbagi, dalam artian mereka juga mendapatkan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Akan lebih baik juga jika mereka dapat berkeluh kesah dan mendapatkan pendengar yang baik tentang kesulitan-kesulitan mereka dalam menghindari gaya hidup yang berdampak negatif.
Kesehatan reproduksi sendiri tak hanya melulu soal kesehatan, tetapi juga berkaitan dengan moral. Padahal, informasi yang didapatkan melalui internet belum tentu valid dan tentu saja tidak cukup untuk memenuhi pemahaman remaja tentang kesehatan reproduksi.
Berkeluh kesah dengan teman pun belum tentu memberikan solusi yang positif bagi mereka. Malahan, bisa membuat mereka jadi makin terjebak dalam hal-hal yang negatif.
Salah satu pihak yang seharusnya mampu memberi pemahaman ini adalah keluarga, sebagai orang terdekat dari remaja itu sendiri. Namun, faktanya juga ada hambatan yang masih terjadi di lingkungan keluarga ini. Bisa jadi disebabkan oleh juga kurangnya pengetahuan oleh orang tua, atau orang tua yang belum menemukan model komunikasi yang tepat untuk membicarakannya dengan si remaja.
3. Komunikasi tentang Kesehatan Reproduksi dalam Keluarga Masih Berjalan Satu Arah
Seperti sudah disebutkan di poin 2, anggapan bahwa pembahasan tentang reproduksi masih merupakan hal yang tabu membuat komunikasi yang terjadi dalam keluarga kurang berkualitas. Orang tua hanya memberi petuah dan nasihat yang cenderung melarang remaja untuk berperilaku A, B dan seterusnya.
Karena model komunikasi yang kurang tepat ini, remaja akan merasa bahwa dunianya tidak dapat dimengerti oleh orang tua, sehingga akhirnya mereka memilih untuk tidak menceritakan permasalahan mereka.
Hal ini tentu saja akan membuat para remaja menjadi tidak mendapatkan pemahaman yang mereka butuhkan tentang kesehatan reproduksi.
Meskipun, yah mungkin kapasitas pengetahuan yang dimiliki orang tua memang berbeda-beda, tetapi komunikasi yang bersifat 2 arah setidaknya akan membuat remaja lebih terbuka dan mau bercerita apa adanya, sehingga orang tua mengetahui apa yang menjadi kendala bagi remaja untuk menghindari perilaku berisiko ini.
4. Tingkat Pendidikan Ibu Berhubungan dengan Perilaku Seksual Remaja
Penelitian juga menemukan, bahwa remaja lebih nyaman berkomunikasi dengan ibunya dibandingkan dengan ayahnya. Hal ini berlaku baik bagi remaja perempuan maupun laki-laki.
Tingkat pendidikan sendiri umumnya memengaruhi pola asuh yang akan diterapkan ibu pada anak-anaknya. Ibu dengan pendidikan tinggi, terlepas dari apakah sang ibu merupakan wanita karier atau ibu rumah tangga, umumnya memiliki pemikiran yang terbuka dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Selain ibu, terdapat anggota keluarga lain yang juga berhubungan dengan perilaku berisiko remaja. Siapakah dia?
5. Memiliki Kakak Laki-Laki Berhubungan dengan Perilaku Berisiko Remaja
Fakta ini secara statistik hanya berlaku bagi remaja laki-laki dan tidak pada perempuan. Hal ini dikarenakan remaja laki-laki cenderung menjadikan kakak laki-lakinya sebagai role model dalam pencarian jati dirinya. Khususnya jati diri sebagai laki-laki.
Tak jarang perilaku berisiko seksual, seperti menonton video bersifat pornografi sampai gaya pacaran yang tidak sehat, mereka pelajari dari sang kakak.
6. Lingkungan Pertemanan Memberi Pengaruh Paling Besar
Bukan merupakan fakta baru, bahwa dibandingkan keluarganya, sebagian besar remaja lebih mendengarkan dan mengikuti anjuran dari teman sebayanya. Tidak terkecuali dalam perilaku berisiko remaja.
Remaja yang menghabiskan lebih banyak waktunya dengan teman sebaya dibandingkan keluarga inti cenderung untuk berperilaku berisiko secara seksual.
Selain itu, memiliki teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual dan yang menyukai sesama jenis juga meningkatkan kecenderungan remaja untuk berperilaku seksual yang berisiko.
7. Proyeksi Angka IMS dan Angka Menikah Muda Masa Depan
Pada akhirnya, perilaku seksual remaja yang berisiko memberikan output berupa angka infeksi menular seksual (IMS)—seperti sifilis, gonorrhea, hingga HIV/AIDS—dan kejadian MBA (married by accident) yang merujuk pada meningkatnya angka menikah muda.
Dampak ini merupakan dampak jangka panjang yang tidak langsung terjadi saat remaja melakukan perilaku seksual berisiko tersebut.
Permasalahan pernikahan dini (terutama jika disebabkan oleh kehamilan di luar nikah) sendiri tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Namun, juga akan berpengaruh pada derajat kesehatan dan kualitas hidup dari keluarga tersebut nantinya, akibat ketidaksiapan remaja dalam membangun keluarga.
Dampak besar dari perilaku seksual remaja yang berisiko ini seharusnya menjadi perhatian dari semua pihak, tidak hanya oleh pemerintah.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, siapkah Indonesia menyongsong bonus demografi pada tahun 2025-2030?
Credit Title
- Penulis : Marya Yenita
- Editor 1 : Putri Tiara Rosha,SKM.,MPH
- Editor 2 : Fitri Handayani,S.Kep.,MPH
- Content Writer : Carolina N. Ratri
- Redaktur 1 : dr. Fatwa Sari Tetra Dewi,MPH.,Ph.D
- Redaktur 2 : dr. Fitriana,MSc.,FM
Referensi :
- Bleakley A, Hennessy M, Fishbein M and Jordan A. “It Works Both Ways: The Relationship between Exposure to Sexual Content in the Media and Adolescent Sexual Behavior,” Media Psychology, 2008. vol: 11 (4) pp: 443-461.
- Fatoni, Zainal, Augustina Situmorang, Puguh Prasetyoputra. Keluarga dan Perilaku Berisiko Remaja Kota Medan Terkait Seksualitas di Era Globalisasi. Jakarta : Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, 2017.
- Guse K, Levine D, et al. “Interventions Using New Digital Media to Improve Adolescent Sexual Health: A Systematic Review,” Journal of Adolescent Health. 2012. vol: 51 (6) pp: 535-543.