Demensia Bisa Menyerang Kita di Usia 40 Tahun! Yuk, Cegah Mulai Sekarang!
Mari kita simak sebuah cerita.
DY memutuskan melarikan diri ke luar negeri. Ia merasa tak sanggup menghadapi hidupnya yang terasa bagai drama. Jauh-jauh ia ingin berlari dan menyingkir.
Semua bermula dari ibunya yang beranjak lanjut usia. Sang ibu selalu marah dan curiga pada orang-orang di sekitarnya. Semua pembantu dan sopir silih berganti dipecat, karena dituduh mencuri. Belum lagi perilaku pikunnya yang sering membuat dongkol seluruh keluarga.
Beberapa saat setelah berada di luar negeri, DY baru mengetahui penjelasan di balik perilaku sang ibu.
Demensia, sebuah penyakit yang menyerang fungsi otak manusia, telah mengubah sang ibu menjadi sosok antagonis di usia senja.
Setelah memahami apa yang terjadi, DY memutuskan pulang ke Indonesia untuk merawat ibunya. Sebagaimana dikutip dari wawancara bersama Kompas.com, pengalaman merawat sang ibu akhirnya membuat DY tergerak untuk aktif terjun ke masyarakat dalam rangka memberi pencerdasan tentang demensia.
Apa Itu Demensia?
Jangan Maklum dengan Pikun!
Begitu bunyi kampanye Yayasan Alzheimer Indonesia, sebuah lembaga nonprofit yang giat menyosialisasikan tentang demensia.
Masyarakat Indonesia, bahkan dunia, menganggap pikun adalah sebuah kondisi alami pada manusia lanjut usia. Padahal, pikun adalah salah satu ciri penyakit demensia yang sebenarnya tidak menimpa semua orang di usia senja.
Demensia didefinisikan sebagai kondisi kerusakan fungsi otak yang berhubungan dengan ingatan, bahasa, persepsi, dan proses berpikir sehingga berpengaruh signifikan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Orang dengan demensia akan kehilangan kemampuan memori jangka pendek, sehingga lebih banyak mengingat memori jangka panjang atau ingatan masa lalunya. Tak heran jika pengidap demensia sering menceritakan ulang kisah masa muda tapi lupa dengan yang baru dilakukannya 10 menit yang lalu.
Di tahap terminal, penderita demensia bergantung sepenuhnya pada bantuan orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti, makan, buang air, maupun mandi.
Siapa saja yang mempunyai risiko mengidap demensia?
Risiko mengalami demensia dimulai pada usia 65 tahun ke atas, meskipun ada juga yang terjadi di usia lebih muda seperti 40 tahun. Di atas usia 85 tahun, risiko terkena demensia meningkat menjadi 8%.
Saat ini, lebih dari 47 juta orang di seluruh dunia menderita demensia, diperkirakan 12 tahun lagi, yaitu tahun 2030, sebanyak 82 juta orang akan hidup dengan demensia.
Wow!
Demensia sering kali tak terdeteksi dan disalahpahami, padahal sangat memengaruhi kehidupan hingga menyebabkan disabilitas individu, keluarga, dan masyarakat.
Melihat minimnya pengetahuan dan penanganan demensia di seluruh dunia, WHO mencanangkan Global Action Plan on The Public Health Response to Dementia 2017-2025. Ditargetkan pada 2025, semua negara di dunia sudah memiliki program kampanye penanganan demensia yang berfungsi secara aktif untuk menolong penderita demensia di tiap negara. Berikut infografis Global Action Plan WHO terkait demensia:
Sumber: http://www.who.int/mental_health/neurology/dementia/infographic_dementia.pdf
Kenali gejala demensia
Penyebab paling umum dari demensia adalah Alzheimer.
Penyakit ini menyebabkan otak mengalami kerusakan secara perlahan karena kematian sel-sel akibat perubahan zat kimia dan struktur di dalamnya. Meskipun pengobatan untuk memperlambat kerusakan otak sudah ditemukan, sampai saat ini belum ada obat yang dapat menghentikan laju kerusakan otak tersebut.
Berikut gejala demensia Alzheimer yang dapat diamati dalam keseharian penderita:
1. Gangguan daya ingat
Pikun adalah istilah yang sering dipakai masyarakat awam untuk menyebut gangguan daya ingat pada lansia.
Ternyata pikun bukanlah hal yang normal pada lansia, jika sudah masuk ke tahap yang mengganggu aktivitas sehari-hari, baik pada penderita maupun orang di sekitarnya. Mereka bisa mengulang pertanyaan atau pernyataan yang sama berkali-kali dalam sehari.
Pada tahap yang sudah lanjut, penderita tidak dapat lagi mengenali anggota keluarga dan kehilangan banyak kenangan bersama.
2. Disorientasi atau tak bisa mengenali arah
Lansia demensia sering salah mengenali lingkungan dan lokasi. Pada tingkat yang sudah parah, penderita demensia kesulitan mengenali huruf dan angka.
3. Sulit merencanakan dan membuat keputusan
Fungsi kognitif penderita demensia Alzheimer juga turut terganggu adalah dalam merencanakan kegiatan dan membuat keputusan.
4. Sulit melakukan kegiatan sehari-hari
Seorang nenek penderita demensia yang di masa mudanya merupakan akuntan andal, tidak mampu lagi mengatur uang yang dipegangnya. Seorang kakek penderita demensia yang biasa menyetir sendiri, perlahan kesulitan untuk menyetir lagi.
Pada kerusakan otak yang makin parah, penderita demensia kesulitan menahan buang air, tidur di malam hari, berpakaian, maupun makan sendiri. Mereka akan memerlukan bantuan orang lain untuk hal-hal yang biasa dilakukannya.
5. Gangguan komunikasi
Penderita demensia sering kesulitan menemukan kata-kata di tengah pembicaraan.
Mencari kata yang menggambarkan maksud mereka menjadi tantangan tersendiri hingga tak jarang percakapan terhenti, meski belum selesai.
6. Lebih suka menyendiri
Kegiatan berkumpul menjadi tidak lagi menarik bagi penderita demensia. Aktivitas atau hobi yang biasa mereka senangi tidak membuat mereka bersemangat lagi. Sendirian di kamar sambil memandang ke jendela luar sering dilakukan oleh penderita demensia.
Namun demikian, ia tak mau jika ditinggal sendirian di rumah.
7. Perubahan kepribadian
Sering marah dan curiga berlebihan menjadi gejala yang paling menyedot emosi bagi penderita, perawatnya atau caregiver, serta lingkungan sekitarnya.
Lansia demensia mudah sekali menuduh orang lain mencuri dan ingin menyakitinya. Mereka juga mudah kecewa, putus asa, serta bergantung secara berlebihan pada anggota keluarga.
Berbagai gejala ini seringkali menjadi penyebab frustrasi bagi penderita demensia dan lingkungan terdekatnya.
Caregiver yang tidak memahami berbagai gejala demensia dapat menjadi lebih frustrasi daripada penderita itu sendiri. Oleh karena itu, program sosialisasi dan pendampingan bagi caregiver sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas hidup mereka.
Bergabung bersama komunitas sesama caregiver agar mendapatkan wawasan serta dukungan dalam merawat penderita demensia adalah sebuah pilihan yang perlu dipertimbangkan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah demensia datang?
Otak manusia akan semakin kuat jika senantiasa diasah dengan berbagai stimulus. Pada manusia lanjut usia, otak akan tetap prima jika dirawat sejak usia muda sehingga risiko demensia bisa berkurang.
Para ahli percaya bahwa nutrisi tertentu sangat berperan menjaga vitalitas otak. Nutrisi yang telah teruji klinis dapat membantu merawat fungsi otak di antaranya:
- Kolin, yang banyak terdapat di telur, unggas, sayuran, ikan, seafood, daging, dan buah
- Folat, yang banyak terdapat di sayur-sayuran hijau seperti bayam, asparagus, brokoli, kubis, sawi hijau, lobak hijau, dan selada; serta buah-buahan seperti alpukat, buah bit, jus jeruk, jus tomat, pepaya, pisang, dan melon jingga
- Vitamin B12, yang banyak ditemukan dalam ikan tuna, kepiting, ikan sarden, daging sapi, ikan salmon, dan lain-lain.
- vitamin C, yang banyak terkandung dalam jeruk, paprika, kiwi, berries, nanas, melon, dan lain-lain
Selain asupan nutrisi, cara lain untuk merawat otak adalah dengan diet rendah lemak dan mengurangi konsumsi karbohidrat.
Terakhir, layaknya otot, otak pun membutuhkan latihan untuk menjadi lebih kuat. Nah, agar terhindar dari demensia, lakukanlah latihan otak, seperti:
- membaca
- menulis
- bermain teka-teki
- senam otak (brain gym)
- melukis
- meditasi, dan lain-lain.
Kegiatan fisik seperti olahraga dan jalan kaki juga sangat bermanfaat untuk menjaga otak tetap prima hingga usia senja.
Tak kalah penting, senantiasa menjaga kondisi jiwa tetap tenang dan bahagia adalah cara terbaik agar terhindar dari segala penyakit raga.
Yuk, cegah demensia datang apalagi kalau ia datang lebih awal. Ubah pola hidup menjadi lebih sehat mulai sekarang!
Credit Title
- Penulis : Yunda Fitrian, S.Psi
- Editor 1 : Putri Tiara Rosha,SKM.,MPH
- Editor 2 : Fitri Handayani,S.Kep.,MPH
- Content Writer : Carolina N. Ratri
- Redaktur 1 : dr. Fatwa Sari Tetra Dewi,MPH.,Ph.D
- Redaktur 2 : dr. Fitriana,MSc.,FM
Referensi:
- Adji, Nur. (2011).Menyayangi Otak. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Miller, Stephen. (2014). Communicating Across Dementia. London: Robinson.
- http://www.who.int/mental_health/neurology/dementia/dementia_thematicbrief_epidemiology.pdf?ua=1diakses pada 21 Februari 2018
- http://www.depkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-yang-sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.htmldiakses pada 21 Februari 2018
- http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/179537/1/9789241509114_eng.pdf?ua=1&ua=1diakses pada 21 Februari 2018
- https://www.alz.co.uk/research/files/apreportindonesian.pdfdiakses pada 21 Februari 2018
- https://www.alzi.or.id/kenali-10-gejala-umum-demensia-alzheimerdiakses pada 21 Februari 2018