Ini Dia Pentingnya Peranan Perempuan dalam Situasi dan Kondisi Bencana Alam di Indonesia
Peranan perempuan sungguh tak bisa diabaikan dalam kondisi bencana, kapan pun dan di mana pun.
Hal inilah yang kemudian diangkat sebagai tema utama dalam The 13th International Seminar on Disaster—sebuah kegiatan rutin tahunan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM (PSIK FKKMK UGM). Acara yang diselenggarakan pada tanggal 21 Desember 2017 lalu di gedung Gadjah Mada University Club (UC), UGM, Jl. Pancasila 2 Bulaksumur, Yogyakarta, ini merupakan hasil kerja sama dengan Universitas Kobe, Jepang. Tentunya hal ini bukannya tanpa alasan sama sekali, karena Indonesia dan Jepang sebenarnya memiliki kesamaan kondisi negara, dalam hal kerawanan terjadi bencana khususnya gempa bumi.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 menyebutkan bahwa bencana diartikan sebagai “suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.
Ya, Anda pastinya sudah tahu ya, bahwa negara kita Indonesia berada di Pacific Ring of Fire? Yaitu sebuah area dengan tingkat aktivitas tektonik yang tinggi, sehingga membuat kita harus selalu siap berhadapan dengan risiko terjadinya berbagai bencana, seperti letusan gunung api, gempa bumi, banjir, hingga tsunami.
Indonesia, selama 20 tahun terakhir, sering tersorot oleh mata dunia akibat begitu seringnya terlanda bencana alam yang menelan banyak sekali korban, dari mulai jiwa baik manusia maupun hewan, materi, hingga kerusakan infrastruktur. Semua ini tentu saja memengaruhi berbagai aspek hidup kita ya, terutama aspek ekonomi.
Peranan perawat dalam setiap kondisi bencana adalah sangat penting, tentunya kita sadar betul akan hal ini. Merekalah yang menjadi garda terdepan dalam pemulihan situasi dan kondisi para korban bencana. Dengan persentase perawat yang mencapai 70% adalah perempuan, maka tema Seminar Internasional On Disaster tahun ini—Gender-Inclusive Disaster Risk Management—pun terasa begitu tepat.
Hal ini semakin ditegaskan oleh uraian Ketua Panitia The 13th International Seminar On Disaster, Prof. dr. Sri Hartini S. Kep. Ns., M.Kes., Ph.D, yang menyebutkan bahwa baik gempa bumi, tanah longsor, dan bencana-bencana lainnya tak hanya menimbulkan korban pada populasi yang normal saja, melainkan juga pada populasi yang rentan, seperti anak, lansia dan orang berkebutuhan khusus.
“Para korban bencana alam ini dirawat oleh perempuan. Jadi, bukannya untuk membedakan gender antara perempuan dan laki-laki, tetapi latar belakang acara ini memang difokuskan pada perempuan,” ujar Prof. Sri Hartini.
Acara yang menghadirkan Prof. Satoshi Takada, Prof. Ronni Alexander, Prof. Junko Okada, Prof. dr. Sunartini Hapsara, Sp.A(K)., Ph.D, Prof. Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D, Elsi Dwi Hapsari, S.Kp., M.S., D.S., dan Dr. Dra. Budi Wahyuni, MM., MA. sebagai narasumber ini memang bertujuan untuk saling bertukar pengalaman dalam hal persiapan, penanganan, maupun rehabilitasi dalam bencana.
Salah satu pembicara dalam seminar ini, yaitu Prof. Satoshi Takada, mengatakan bahwa memang telah terjadi pergeseran peran perempuan di Jepang. Perempuan sudah mulai banyak berperan dalam kedudukan sosialnya di masyarakat. Namun, peranan perempuan dalam bencana sendiri belum pernah diteliti.
Satoshi Takada selanjutnya juga mengatakan, bahwa peran perempuan selama bencana berbeda dengan peran yang disandang oleh laki-laki. Menurutnya, perempuan merupakan penolong utama bagi para lanjut usia dan anak-anak saat terjadi bencana.
“Perempuan dapat melakukan pemberdayaan masyarakat dalam bencana, karena keterampilan dan kapasitas mereka di rumah. Jadi, perempuan memang harus dilibatkan dalam manajemen risiko bencana.”
Lebih jauh, salah satu narasumber, Prof. dr. Sunartini Hapsara, Sp.A(K)., Ph.D yang sekaligus merupakan Direktur Eksekutif Griya Lare Utami menjelaskan, bahwa peran perempuan memang sangat penting dalam setiap situasi dan kondisi bencana, karena seorang perempuan atau ibu cenderung akan berusaha melindungi orang yang mereka cintai.
“Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan, bahwa yang harus ditolong pertama kali dalam kondisi bencana alam adalah anak, lalu perempuan, dan yang terakhir adalah laki-laki. Tapi seringkali yang terjadi adalah justru kesempatan para perempuan untuk bisa menolong anak-anak itu lebih besar ketimbang laki-laki, sehingga inilah kenapa perempuan Indonesia itu harus cerdas dan terampil dalam situasi bencana. Jangan sampai kita terbuai karena menjadi pihak yang ditolong.”
Sebagai seorang relawan di bidang kemanusiaan, Prof. Sunartini juga telah menjalankan organisasi yang bernama Griya Lare Utami.
Griya Lare Utami, yang berlokasi di Jl. Imogiri km. 7, Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta ini awalnya dibentuk untuk membantu pemulihan trauma yang terjadi pada anak dan remaja korban gempa Bantul 2006 silam.
Di Griya Lare Utami, para korban bencana alam tak hanya mendapatkan pelayanan medis, namun juga mendapatkan berbagai pendampingan secara psikologis. Selain dikembalikan psikisnya seperti sediakala sebelum terjadi gempa, para korban juga diberi pelatihan kewirausahaan mandiri melalui kerajinan, di antaranya tas kertas dan lilin hias untuk suvenir.
Semoga dengan terselenggaranya acara ini, perempuan Indonesia semakin berdaya dan kuat, sehingga bisa ikut membantu menyelamatkan banyak nyawa selama terjadi bencana alam di Indonesia.
Credit Title
- Penulis : Carolina N. Ratri
- Redaktur : dr. Fatwa Sari Tetra Dewi,MPH.,Ph.D