Indonesia Darurat Gangguan Jiwa – Yuk, Kenali, Ketahui Penyebabnya, dan Lakukan Pencegahan!
Ingatkah Anda akan berita ghebohkan beberapa waktu yang lalu? Tentang seorang pria yang melakukan bunuh diri yang direkam melalui Facebook Live?
Sebagian dari kita pasti langsung melontarkan kalimat, “Apa dia sudah gila ya?” Atau, “Jangan-jangan dia ini mengalami gangguan jiwa! Bunuh diri kok sambil live di Facebook!”
Juga ingatkah Anda, akan kasus seorang ibu yang tega membunuh anak kandungnya sendiri dengan cara diduduki hingga tewas di Garut?
Reaksi yang kita berikan sama saja, menganggapnya gila. Polisi juga telah melaksanakan prosedur pemeriksaan kesehatan jiwa si ibu pembunuh anak kandungnya sendiri tersebut. Hasilnya? Sepertinya sampai dengan artikel ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari kepolisian.
Gila, sebuah kata yang disematkan untuk kondisi/keadaan yang dinilai berlebihan belakangan ini.
Apakah benar kedua orang tersebut mengalami gangguan jiwa?
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) memaparkan beberapa fakta yang perlu Anda ketahui :
- Ternyata satu dari 4 orang dewasa mengalami masalah gangguan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya.
- Setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ini, ada orang bunuh diri.
- Terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta mengidap skizofrenia, dan 47.5 juta terdiagnosis demensia.
Dengan melihat beberapa fakta tersebut, maka Anda pasti setuju, bahwa kita sedang dalam keadaan darurat gangguan jiwa.
Apa Itu Gangguan Jiwa?
Gangguan jiwa, atau sering juga disebut dengan gangguan mental, merupakan kondisi psikologis seseorang yang terkait dengan stres atau kelainan mental tidak normal yang mengakibatkannya tak bisa beraktivitas seperti biasa.
Gangguan jiwa ini bisa berdampak pada mood, pola pikir hingga perilaku secara umum.
Agar Anda bisa lebih jelas memahami definisi gangguan jiwa, barangkali kita bisa melihat dari sisi orang yang sehat jiwanya.
Orang yang sehat jiwanya menampakkan ciri-ciri sebagai berikut:
- Memiliki perasaan sehat, bahagia dan nyaman dengan dirinya sendiri
- Mampu mengatasi amarah, iri hati, rasa cemas, rendah diri, takut dan kecewa
- Mampu menilai diri sendiri dengan sepatutnya.
- Dapat menerima orang lain apa adanya
- Mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain
- Mampu menggunakan akalnya dengan sehat
- Menyadari kemampuan diri, bertanggung jawab dan mengambil keputusan
- Punya tujuan hidup nyata dan bisa merancang masa depan
Nah, orang yang memiliki gejala gangguan jiwa akan mempunyai kondisi berkebalikan dengan ciri-ciri di atas.
Mereka yang mengidap gangguan jiwa akan cenderung menunjukkan tanda-tanda:
- Perasaannya tumpul dan mendatar, yang terlihat dari ekspresi wajah yang lempeng saat diajak berinteraksi.
- Menarik atau mengasingkan diri, tak mau kontak langsung dengan orang lain dan suka melamun.
- Delusional, atau memercayai sesuatu tanpa rasio atau logika.
- Berhalusinasi, yaitu panca indranya mengalami sesuatu padahal tak ada rangsangan apa pun.
- Merasa sedih berlebihan, atau stres secara terus menerus, atau cemas berlarut-larut.
- Kesulitan melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari.
Berbagai Penyebab Gangguan Jiwa
Memang tak mudah untuk melakukan diagnosis gangguan jiwa terhadap diri seseorang. Para ahli dan profesional harus melalui beberapa fase, yang meliputi penilaian fisik, emosional dan intelektualitas penderita.
Namun, lebih jauh diindikasikan, bahwa kondisi ekonomi, sosial dan politik yang berkembang belakangan ini memang ada andil dalam peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa.
Penyebab lainnya, antara lain:
- Faktor keturunan, atau genetika, yang ditimbulkan akibat ketidakseimbangan zat-zat neurokimia yang ada dalam otak manusia.
- Faktor psikologis, misalnya seperti adanya trauma, kondisi mood yang labil, rasa cemas berlebihan dan lain-lain
- Faktor lingkungan, atau sosial, baik itu lingkungan terdekat kita—keluarga—maupun lingkungan di luar keluarga, misalnya seperti lingkungan kerja, sekolah dan lain-lain. Contohnya seperti penolakan oleh lingkungan, perundungan dan lain sebagainya.
Penyebab gangguan jiwa mungkin tak cuma datang dari salah satu faktor di atas saja, tetapi bisa saja dari beberapa faktor sekaligus yang saling memengaruhi atau kebetulan terjadi secara bersamaan.
Bahkan semakin ke sini, penyebab gangguan jiwa ini juga makin beragam. Mirisnya lagi, beberapa di antaranya diakibatkan oleh kesalahan kita sendiri, atau karena kita tidak sadar bahwa yang kita lakukan atau katakan berdampak buruk bagi kondisi psikologis orang lain.
Misalnya seperti:
- Memanjakan anak hingga melindunginya secara berlebihan.
- Mendidik anak dengan kekerasan.
- Pertengkaran orang tua hingga berakhir perceraian.
- Persaingan tak sehat antara saudara atau teman.
- Menuntut anak dengan harapan-harapan yang terlalu tinggi, yang tak mungkin bisa dipenuhi oleh anak, dan lain sebagainya.
Ya, keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kesehatan jiwa individu. Pola asuh yang salah dalam keluarga ikut andil sebagai penyebab timbulnya depresi dan stres pada anak, yang bisa berkembang ke arah gangguan jiwa jika tak segera ditangani dengan cepat dan tepat.
Indonesia Bebas Pasung (Kondisi di Masyarakat)
Sebagian masyarakat masih melakukan tindakan yang bisa dikatakan cukup tradisional untuk menangani masalah gangguan jiwa yang terjadi pada warganya, yaitu dengan jalan dipasung.
Mengapa kok dipasung? Biasanya karena 3 sebab:
- Masyarakat masih kurang paham mengenai cara menangani para penderita gangguan jiwa.
- Kurangnya ketersediaan obat untuk penderita gangguan jiwa
- Jumlah rumah sakit jiwa dan panti sosial juga masih sangat minim, bahkan dari total 9000 puskesmas yang ada di Indonesia, hanya 70 saja di antaranya yang melayani penderita gangguan jiwa.
Semua kondisi di atas lantas menyebabkan para penderita gangguan jiwa hanya bisa dirawat oleh keluarganya sendiri, yang kurang paham mengenai seluk beluk penyakit gangguan jiwa ini, sehingga pemasungan pun dipilih menjadi jalan terbaik.
Padahal pemerintah sendiri telah mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung. Namun, dengan kondisi-kondisi tersebut di atas, maka pantas saja proses pencapaian target bebas pasung yang telah dicanangkan sejak tahun 2010 ini begitu lambat.
Pemerintah perlu mempercepat upaya proses optimalisasi kesehatan jiwa, melalui:
- Memperbanyak dan meningkatkan kualitas pelatihan tenaga kesehatan nonspesialis
- Memberikan bimbingan teknis tenaga kesehatan jiwa profesional
- Mempercepat pembangunan fasilitas kesehatan untuk melayani para penderita gangguan jiwa
- Gencar menyosialisasikan penyakit-penyakit gangguan jiwa pada masyarakat, sehingga masyarakat pun memahami bagaimana cara penanganannya dan bisa menekan stigma buruk penyakit kejiwaan.
Pertolongan Pertama Gangguan Jiwa
Seperti halnya penyakit yang lain, kita, sebagai awam, juga bisa memberikan pertolongan pertama pada penderita gangguan jiwa sebelum ada tenaga ahli atau profesional yang bisa hadir menolong.
Ada 5 langkah pertolongan pertama kesehatan jiwa (Mental Health First Aid Action Plan) yang dapat dilakukan, baik oleh keluarga penderita gangguan jiwa maupun oleh masyarakat sekitar:
- Pendekatan, deteksi dan membantu si penderita gangguan jiwa pada krisis apa pun
- Mendengarkan si penderita gangguan jiwa, tanpa menghakiminya
- Memberikan dukungan pada si penderita gangguan jiwa, juga pada keluarga atau orang terdekatnya, serta memberikan informasi yang tepat mengenai penyakit gangguan jiwa (Anda dapat mencarikan informasi melalui internet atau dari mana pun sebagai tambahan bekal pengetahuan mereka)
- Membantu penderita gangguan jiwa agar mendapatka bantuan profesional yang sesuai dengan jenis penyakitnya.
- Memberikan bantuan lainnya yang sekiranya diperlukan.
Memang betul, upaya pertolongan dan pencegahan penyakit gangguan jiwa ini pertama berasal dari keluarga dan masyarakat.
Semoga dengan kerja sama kita semua, penyakit gangguan jiwa ini ke depannya semakin bisa ditekan sehingga kita bisa mewujudkan masyarakat yang sehat, secara fisik maupun kejiwaan.
Credit Title
- Penulis : Reqgi First Trasia, dr.
- Editor 1 : Putri Tiara Rosha,SKM.,MPH
- Editor 2 : Fitri Handayani,S.Kep.,MPH
- Content Writer : Carolina N. Ratri
- Redaktur 1 : Dr. Supriyati,S.Sos.,M.Kes
- Redaktur 2 : dr. Fitriana,MSc.,FM
Referensi :
- World Federation for Mental Health, 2016.
- World Health Organization (WHO), 2016.
- Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan